PEKANBARU (Riau Lantang) – Ketika pesta lima tahunan demokrasi di Republik ini digelar, tidak sedikit masyarakat yang optimis. Namun jumlah yang pesimis juga semakin bertambah banyak bahkan “mencibir”keberadaan para calon legislatif (caleg) mulai dari kabupaten dan kota, provinsi hingga pusat (DPR RI) sampai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Masyarakat yang pesimis dengan keberadaan wakil-wakil rakyat disemua tingkatan selama ini mengaku kalau tahun 2019 ini adalah tahun pilihan sulit. Hampir semua caleg menjanjikan yang manis-manis saja, meskipun itu dinilai hanya sebatas lips service belakau ntuk mempengaruhi pemilih. Sehingga mencari wakil rakyat yang betul-betul merakyat memang cukup sulit, apalagi ditengah persoalan ekonomi negara yang tidak menentu.
Tidak sedikit masyarakat yang berharap mendapatkan“serangan fajar” dengan diberi uang atau sembako dari para caleg. Juga diduga tidak sedikit caleg yang melakukan praktek money politik ataupun bagi sembako secara sembunyi-sembunyi dengan sistem door todoor melalui tim sukses mereka yang sudah disiapkan.
Keberadaan mayoritas wakil rakyat disemua tingkatan selama ini nyaris tidak memberikan kontribusi positif kepada masyarakat maupun kehidupan berdemokrasi secara luas. Setelah terpilih mereka hanya mementingkan diri sendiri, kelompok dan partai pengusung.Sedangkan rakyat yang sudah berpanas-panas datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) mencoblos dirinya tidak dihiraukan lagi.
“Potret wakil rakyat hampir diseluruh Indonesia ini mayoritasnya instan. Hanya datang kepada kita ketika mereka memerlukan suara rakyat, setelah itu mereka meninggalkan rakyat yang notabene mereka wakili di parlemen,”ungkap Wahyudi SB, warga Sail Pekanbaru memberikan pendapat, Senin (15/04/2019).
Lantas, ketika banyak caleg mendatangi warga, bagi mereka yang awam dengan demokrasi tentu menimbulkan kebingungan. Karena semua menawarkan janji-janji semanis kecap, bahkan ada yang menitipkan“amplop” saat sang caleg hendak pulang dengan harapan dipilih warga bersangkutan. Sang caleg tidak hanya meninggalkan pesan moril dan amplop, tapi juga kertas-kertas buram berupa brosur-brosur berisi nomor urut dan partainya serta profil singkat diri caleg tersebut.
Seperti disampaikan Arifin warga Rumbai, kota Pekanbaru bahwa pemilu tahun 2019 cukup ramai dan jumlah caleg bertambah banyak dibanding tahun 2014. Hal itu dikarenakan jumlah partai tahun 2014 hanya 12 partai, sedangkan tahun 2019 ini menjadi 16 partai, belum lagi pemilu presiden serta DPD RI. Tahun ini pemilu legislatif dan pemilu presiden berlangsung serentak.
“Ada lima kertas suara yang harus dibuka dan dipilih, jadi cukup ribet. Kalau bisa pemilu tahun 2024 tidak ada lagi revisi Undang-Undang Pemilu, parpol yang tidak mencapai parlementary treshold persen tak bisa lagi berganti baju lima tahun kedepan. Kalau bisa cukup 5 parpol saja peserta pemilu legislatif,”saran Arifin.
Apapun keinginan masyarakat, kekuasaan tertinggi tetap ada ditangan DPR RI, apakah mereka mau mervisi UU Pemilu setiap lima tahun atau tidak. Jadi apa yang disuarakan masyarakat sejak zaman dahulu memang hanya sebatas angin lalu. Pertanyaan dari hakikat kita berdemokrasi adalah dimana sesungguhnya kedaulatan rakyat itu berada ?.
Sebab Undang-Undang dalam bentuk produk apapun yang dihasilkan, sampai Peraturan Daerah (Perda) di tingkat provinsi, kabupaten dan kota bukanlah buah dari aspirasi masyarakat sesungguhnya, tapi semuanya bermuara kepada kepentingan sesaat para wakil rakyat dan eksekutif,termasuk dugaan adanya orderan pembuatan Undang-Undang dan Perda oleh sekelompok pengusaha.(afa)