RiauLantang – Kemunculan wabah virus Corona atau Covid-19 turut memicu ketakutan dan panik massal lantaran implikasi kompleks yang dihasilkan dapat berkulminasi jadi krisis kemanusiaan. Terhitung sejak akhir Desember 2019 virus yang semula terjadi di suatu lokalitas dengan cepat berekspansi ke ratusan negara di berbagai benua.
Tak heran bila orang begitu panik atas kondisi memilukan ini mengingat sampai detik ini belum juga ada vaksin yang cukup efektif dalam menangkal Covid-19. Sedangkan para ilmuan juga tak mengetahui pasti kapan kiranya pandemi ini akan berlalu.
Ketidakpastian merupakan kata yang tepat tuk menggambarkan kondisi sekarang ini.
Suatu kondisi yang sebelumnya tak terpikirkan oleh kebanyakan orang. Betapa tidak? Kapitalisme kini ada di tubir kehancurannya. Seluruh aktivitas sosial ekonomi sekarang nyaris sekarat, karenanya sirkulasi kapital pun turut terganggu.
Peristiwa ini mesti jadi catatan penting bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang sebelumnya sempat meremehkan wabah covid-19. Kini para pemangku kebijakan dihadapkan pada tantangan mengatasi wabah tanpa harus mengorbankan ekonomi.
Dalam konsepsi Anthony Giddens ini merupakan problem dualitas yang mana ada keterkaitan erat antara keduanya yang tidak bisa sala satu direduksi dan/atau dinegasi untuk yang lainnya.
Kuncinya ada pada kebijakan yang unggul –meminjam istilah Rian Nugroho– agar supaya problem epidemi serta instabilitas ekonomi dapat teratasi dengan baik. Karena itu sinkronisasi dan konsistensi kebijakan antara pusat-daerah merupakan hal elementer yang mesti “diimani”. Tanpa itu, mustahil dua persoalan itu dapat diatasi– dan, setiap kali terjadi kematian akibat coronavirus itu adalah bentuk sellow motion genoside yang dilakukan negara.
Menolak Pandangan Konspiratif
Adalah suatu kewajaran manakala setiap terjadi peristiwa berskala besar dengan melibatkan ragam kepentingan, teori konspirasi selalu hadir menyertainya. Dalam kasus Covid-19, semisal, banyak yang meyakini bila wabah ini merupakan konspirasi elite global. Bahkan ada yang menautkan wabah ini sebagai buntut dari perang dagang AS-Cina.
Menilik wacana yang berkembang, memang nuansa antagonisme AS-Cina yang saling tuding-menuding akan sumber wabah begitu tampak.
Tetapi, kalau kita terlarut dalam pertarungan wacana hegemonik semacam itu, justru aspek struktural yang jauh lebih substansial jadi terabaikan.
Saya percaya bila wabah covid-19 bukan peristiwa yang terisolir. Wabah ini sangat terkait dengan kerja-kerja dari logika kapitalisme yang selama ini turut melapangkan jalan bagi proses deforestasi berskala besar.
Seperti diungkap biolog evolusioner, Rob Wallace, dalam studinya, “Big Farms Make Big Flu”, menjelaskan bila peristiwa epidemiologi miliki korelasi dengan perkembangan pertanian industrial.
Eksploitasi atas alam telah merusak tatanan alam sebagai satu entitas penting bagi manusia dan virus.
Satu hal yang kerap dilupakan adalah bumi tak hanya dihuni oleh spesies manusia, tetapi juga ada spesies virus. Manakala kerja-kerja destruktif kapitalisme yang melapangkan jalan bagi deforestasi dan alih fungsi lahan turut merusak habitat beragam spesies, termasuk virus, sudah barang tentu mencari tempat baru –entah itu pada hewan atau manusia– demi kelangsungan adalah konsekuensinya.
Dari perspektif itu bisa dimengerti bila persoalan pandemi tidak terlepas dari persoalan kapitalisme. Terlepas benar-tidaknya pandemi ini sebagai setting elite global atau buntut dari perang dagang AS-Cina, hemat saya, itu hanya persoalan turunan namun bukan yang utama! Intinya adalah seluruh pandangan konspiratif harus diletakkan dalam kerangka logika kapitalisme. Sebab ini persoalan bagaimana merawat hegemoni dan kelangsungan akumulasi.
Krisis Global Kemanusiaan
Melihat pandemi coronavirus, ada yang melihatnya sebagai siklus 100 tahun-nan. Setiap satu abad, selalu ada virus mematikan yang muncul. Pandangan ini tidak keliru, namun ia cenderung simplistik.
Benar bahwa umat manusia pernah diserang epidemi e-bola, cacar, flu babi, dan sebagainya. Tetapi ini bukan peristiwa tunggal yang seolah tak terkait dengan aspek lainnya.
Mestinya dari kasus-kasus tersebut, termasuk corona, kita belajar pentingnya menjaga perbatasan. Kata Yuval Noah Harari, bukan menjaga perbatasan negara, melainkan perbatasan antara dunia manusia dengan lingkungan virus.
Ruang bumi tak hanya dihuni oleh manusia, tetapi juga oleh virus yang terus berevolusi karena mutasi genetika. Ini merupakan satu dari empat krisis yang dilukiskan Slavo Zizek pada bukunya “Living in the End Times”. Krisis ini dipahami Zizek sebagai four horsemen of the apocalypse yang melambangkan kematian; penaklukan; peperangan; dan kelaparan – suatu era dekadensi dari kapitalisme yang jadi penanda kengerian terhadap kemanusiaan sekaligus jadi tantangan yang mesti dilalui bersama.
Tak ada yang keliru dari pandangan Zizek. Justru dari pandangan itu, kita memahami betapa rentannya kehidupan dewasa ini. Ancaman riil bagi kelangsungan hidup jutaan spesies makhluk hidup, tak dapat disimplifikasi hanya sebagai kondisi alamiah dari proses evolusi sejarah. Corona, mustahil dilihat sebagai suatu persoalan tunggal yang seakan nirkorelasi dengan problem struktural yang berwatak destruktif.
Penolakan Wallace terhadap pandemi covid-19 sebagai peristiwa terisolir. Tak lepas dari kenyataan produksi pangan dan profitabilitas korporasi multinasional turut meningkatkan virus dengan persebaran ke spesies lainnya. Sekarang, kita disuguhi beragam pandangan terkait situasi darurat – baik pemerintah, media, institusi medis – yang senyatanya sangat problematik lantaran cenderung mengabaikan peranan struktural dalam peristiwa wabah yang mematikan.
Adalah sektor agrikultur industrial yang miliki andil besar memicu munculnya Corona. Keduanya sangat berkorelasi, karena coran dan agrikultur Industrial adalah dualitas: dua entitas yang saling mengandaikan. Industri mendorong laju investasi dalam jumlah besar, turut mendorong deforestasi dan menyebabkan muncul dan menyebarnya penyakit dengan mudah.
Kapitalisme dengan pasar bebasnya menyediakan kerangka kelembagaan demi mendukung upaya korporasi multinasional melakukan perampasan tanah dan sumber daya negara demi meraup laba. Tatkala aktivitas tersebut memunculkan persoalan, dengan mudah menyalahkan pihak lain, seperti manusia atau hewan. Padahal, baik manusia dan alam sama-sama hidup dalam relasi ketergantungan.
Antagonisme Kapitalisme
Munculnya wabah covid-19 makin memperpuruk perekonomian. IMF bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi global 2020 akan negatif. Begitu pula dengan Indonesia yang diprediksi pertumbuhannya akan anjlok jadi 1,5 persen atau minus 0,4 persen.
Pada awal Maret, Gubernur The Federal Reserve, Jerome Powell dalam pidatonya mengumumkan penurunan 0,5 basis poin dalam kisaran target untuk suku bunga dana federal. Dan diakui sebagai level darurat pertama yang tak terjadwal dan merupakan penurunan suku bunga satu kali terbesar sejak krisis keuangan tahun 2008. (Tirto.id, 18/03/2020) Keputusan ini menandai adanya gejolak dalam pasar finansial dan secara otomatis berdampak langsung terhadap ekonomi negara-negara terkait.
Di tengah merebaknya wabah coronavirus, dua negara yang sekarang menjadi pusat ekonomi global (Cina-AS), berada dalam tekanan. Belum pulihnya kondisi ekonomi di negara tersebut akibat perang dagang yang berkepanjangan, manakala ekonomi di kedua (atau, sala satu saja) negara bermasalah otomatis akan berdampak langsung terhadap perekonomian negara-negara lain, tidak terkecuali Indonesia. Sudah jadi konsekuensi dari negara yang terhubung ke dalam jaringan kapitalisme global dan segala dampaknya harus diterima secara konsekuen.
Para pemangku kebijakan dan ekonom, umumnya, sepakat bila covid-19 turut berkontribusi terhadap kondisi pasar yang tengah bergejolak. Goncangan hebat terhadap ekonomi global yang berlangsung di tengah kemampuan perbankan diragukan, pemangku kebijakan moneter dihadapkan akan tantangan: menjaga ekonomi global yang lesu supaya tidak tergelincir lebih jauh. Bukan perkara mudah, seperti membalik telapak tangan. Apalagi ahli kesehatan sendiri tak mengetahui pasti kapan pandemi akan berlalu.
Dalam situasi ketidakpastian ini kebijakan menjadi faktor penentu. Kendati begitu, gejolak ekonomi yang terjadi tak bisah disikapi sebagai sesuatu normal. Justru sebaliknya, gejolak ini mesti dipahami tetap dalam kerangka antagonisme negara-negara adidaya (AS dengan Cina dan sebagian negara barat). Wabah covid-19 yang masih menghantui ekonomi global, berpotensi jadi peluang mengukuhkan sekaligus ancaman meruntuhkan hegemoni negara di kancah global.
Fareed Zakaria, dalam buku The Post-American World, secara gamblang menunujukkan melemahnya posisi hegemonik AS di bidang ekonomi global. Munculnya negara-negara yang sebelumnya tak diperhitungkan seperti, Cina, India, Brazil, Rusia dan Iran menjadi kekuatan penantang yang tak bisah disepelehkan.
Bahkan tatkalah konfrontasi dagang berlangsu, AS seakan kelabakan mengahadapi Cina. Menurut Zakaria, faktor yang membuat AS masih diperhitungkan sekarang ini adalah kekuatannya dibidang politik-pertahanan internasional. Itu pun masih dengan catatan.
Tak heran bila pemimpin AS memanfaatkan momentum wabah covid-19 tuk mediskreditkan Cina dengan melabelkan virus corona sebagai “Made in Cina”, yang memicu kampanye anti-Cina di beberapa negara barat. Semuah itu dilakukan dalam rangka merongrong hegemoni Cina di kancah global. Maka wajar bila kemudian Zhao Lijian membalas serangan AS dengan tuduhan tendensius.
Betapapun, AS di bawah pimpinan Trum telah melancarkan “perang ekonomi”, tidak hanya dengan Cina semata, melainkan Eropa barat juga termasuk dengan menjadikan covid-19 sebagai legitimasinya. Kebijakan 11 Maret lalu yang memberlakukan pelarangan penerbangan trans-Atlantik dari negara-negara UE, memicu kerugian di satu sisi, dan membawa untung bagi pihak-pihak yang sebelumnya sudah mengetahui kebijakan tersebut pada sisi yang lain.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara yang menempati posisi ekor ular, kondisi ekonomi Indonesia sangat bergantung terhadap kondisi negara kepala ular, seperti Amerika dan Cina, sejauh kebijakan pemerintah tak diarahkan untuk memperbaiki fundamental ekonomi dalam negeri. Bila mencermati keterangan Sri Mulyani, Menkeu, di katakan bahwa arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia sejak wabah covid-19 lebih besar dibandingkan saat krisis ekonomi 2008.
Pernyataan itu senyatanya merefleksikan bobroknya kebijakan pemerintah akibat dari inkonsistensinya dan kegagalan dalam membaca akar persoalan. Sehingga tak heran ada anggapan bila dalam situasi semacam ini Indonesia bukan tempat yang aman untuk menyimpan dan/atau menanamkan kapital.
Pada akhirnya. Mengatasi pandemi covid-19 merupakan keharusan sebab terkait dengan nilai kemanusiaan. Namun kita juga tidak bisah larut dalam propaganda akan situasi darurat yang turut dimanfaatkan oleh negara tertentu yang tengah berupaya meraup untung dari situasi ini.
Sumber : REPUBLIKA.co.id Oleh: Riyanda Barmawi*